mencakup
beberapa bagian yaitu :
1. Farmakognosi, mempelajari pengetahuan dan
pengenalan obat yang berasal dari tanaman dan zat – zat aktifmya, begitu pula
yang berasal dari mineral dan hewan. Pada zaman
obat sintetis seperti sekarang ini, peranan ilmu farmakognosi sudah sangat
berkurang. Namun pada dasawarsa terakhir peranannya sebagai sumber untuk obat –
obat baru berdasarkan penggunaannya secara empiris telah menjadi
semakin penting. Banyak phytoterapeutika baru telah mulai
digunakan lagi (Yunani ; phyto = tanaman), misalnya tingtura echinaceae
(penguat daya tangkis), ekstrak Ginkoa biloba (penguat memori), bawang
putih (antikolesterol), tingtur hyperici (antidepresi) dan ekstrak feverfew (Chrysantemum
parthenium) sebagai obat pencegah migrain.
2. Biofarmasi, meneliti pengaruh formulasi obat terhadap efek terapeutiknya.
Dengan kata lain dalam bentuk sediaan apa obat harus dibuat agar menghasilkan
efek yang optimal. Ketersediaan hayati obat dalam tubuh untuk diresorpsi dan
untuk melakukan efeknya juga dipelajari (farmaceutical dan biological
availability). Begitu pula kesetaraan terapeutis dari sediaan yang
mengandung zat aktif sama (therapeutic equivalance). Ilmu bagian
ini mulai berkembang pada akhir tahun 1950an dan erat hubungannya dengan
farmakokinetika.
3. Farmakokinetika, meneliti
perjalanan obat mulai dari saat pemberiannya, bagaimana absorpsi dari usus, transpor dalam darah dan distrtibusinya ke tempat
kerjanya dan jaringan lain. Begitu pula bagaimana perombakannya (biotransformasi)
dan akhirnya ekskresinya oleh ginjal. Singkatnya farmakokinetika mempelajari
segala sesuatu tindakan yang dilakukan oleh tubuh terhadap obat.
4. Farmakodinamika, mempelajari kegiatan obat terhadap organisme
hidup terutama cara dan mekanisme kerjanya, reaksi fisiologi, serta efek terapi
yang ditimbulkannya. Singkatnya farmakodinamika mencakup semua efek yang
dilakukan oleh obat terhadap tubuh.
5. Toksikologi adalah pengetahuan tentang efek racun dari
obat terhadap tubuh dan sebetulnya termasuk pula dalam kelompok
farmakodinamika, karena efek terapi obat barhubungan erat dengan efek
toksisnya.
Pada
hakikatnya setiap obat dalam dosis yang cukup tinggi dapat bekerja sebagai
racun dan merusak organisme. ( “Sola dosis facit venenum” : hanya
dosis membuat racun racun, Paracelsus).
6. Farmakoterapi
mempelajari
penggunaan obat untuk mengobati penyakit atau gejalanya. Penggunaan ini
berdasarkan atas pengetahuan tentang hubungan antara khasiat obat dan sifat
fisiologi atau mikrobiologinya di satu pihak dan penyakit di pihak lain.
Adakalanya berdasarkan pula atas pengalaman yang lama (dasar empiris).
Phytoterapi menggunakan zat – zat dari tanaman untuk mengobati penyakit.
- Obat – obat yang digunakan pada terapi dapat dibagi dalam tiga golongan
besar sebagai berikut :
1. Obat farmakodinamis, yang bekerja terhadap tuan rumah dengan jalan
mempercepat atau memperlambat proses fisiologi atau fungsi biokimia dalam
tubuh, misalnya hormon, diuretika, hipnotika, dan obat otonom.
2. Obat kemoterapeutis, dapat membunuh parasit dan kuman
di dalam tubuh tuan rumah. Hendaknya obat ini memiliki kegiatan farmakodinamika
yang sekecil – kecilnya terhadap organisme tuan rumah berkhasiat membunuh
sebesar – besarnya terhadap sebanyak mungkin parasit (cacing, protozoa) dan
mikroorganisme (bakteri dan virus). Obat – obat neoplasma
(onkolitika, sitostatika, obat – obat kanker) juga dianggap termasuk golongan
ini.
3. Obat diagnostik merupakan obat pembantu untuk
melakukan diagnosis (pengenalan penyakit), misalnya untuk mengenal penyakit
pada saluran lambung-usus digunakan barium sulfat dan untuk saluran empedu
digunakan natrium propanoat dan asam iod organik lainnya.
Cr : http://komunitasfarmasi.blogspot.com/2012/06/definisi-dan-pengertian.html